Oleh: Muna Masyari
Ilustrator: Made Arya Dwita Dedok |
Dua gentong berusia ratusan tahun itu bagai
sepasang manusia renta yang tercampakkan. Keduanya duduk muram di sudut kamar
paling belakang. Menekur diam. Bibirnya berlumur lelehan pewarna yang pekat dan
sudah mengering.
Menatap gentong tua itu tiba-tiba aku seperti
melihat bayangan ibumu. Melihat kedua tangannya yang berwarna kerak nasi dan
telah menghasilkan lembar-lembar batik gentongan, yang sebagian dijual dan
sebagian lagi sudah dipersiapkan untuk pernikahanmu, sebagaimana kewajiban
seorang ibu memersembahkan hadiah itu, meskipun sudah pernah kautegaskan bahwa
itu tidak perlu!
Dialah perempuan Tanjungbumi yang tak lelah
menyunggi tradisi meskipun berkelindan dengan sepi. Lepas hari ketujuh, para tetangga tak lagi
bertandang. Tentu mereka kembali sibuk dengan kain mori, lelehan lilin dan
gentong, yang sempat ditinggal selama sepekan karena ikut bantu-bantu di sini,
di rumahmu.
Sepulang dari pekuburan di penghujung senja,
setelah menyirami pusara ibumu dengan air bunga dan doa, aku mampir ke rumahmu.
Kunyalakan lampu di teras, di ruang dalam, di kedua sudut belakang rumah dan di
pojok halaman. Kutatap tembok bercat putih gading, plafon, lantai mengilap,
lemari yang masih baru, pintu kayu berukir, sofa, semua hanya benda-benda asing
yang nanti takkan pernah memberi kenangan apa pun padamu! Percayalah!
Tali jemuran yang membentang di tepi halaman,
tempat ibumu mengangin-anginkan kain batik yang baru dicelup pada pewarna, juga
pohon jambu biji di belakang rumah yang kini mulai menguning daun-daunnya,
keduanya akan mengasingkan dirimu, seperti kawan lama yang enggan menyapa.
Hanya pada dua gentong tua di sudut kamar itu
akan kautemukan bayangan ibumu. Bersama benda peninggalan leluhur itulah ibumu
berkarib memilin sepi. Menunggumu pulang dengan kerinduan berkelindan. Dan
kini, benda tua itu tampak muram ditinggal pemiliknya. Gelap yang tersisa saat
kulongokkan kepala, mengintip ke dalam. Mirip bilik dada ibumu; tak tertebak
bagai lorong rahasia yang panjang.
Dalam gentong tua itulah ibumu mencelup dan
merendam kain mori yang sudah direngreng dan dipolesi lelehan lilin, untuk
mewarnainya, menggunakan pewarna dari kulit mengkudu, kulit mundu campur tawas,
daun tarum, kulit pohon jati, dan pewarna-pewarna alami lain.
Kain mori yang sudah direndam sekian lama
diangkat, dianginkan, lalu dicelup lagi. Dianginkan lagi. Dicelup lagi. Lalu
direndam lagi. Satu lembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk
menghasilkan warna yang pekat dan lekat. Sungguh suatu proses panjang dan
melelahkan. Aku yakin, dari proses pekerjaan itulah kesabaran serta keteguhan
ibumu terlatih. Tangannya sampai berwarna kerak nasi. Bahkan sewaktu kecil kau
selalu menolak disuapi menggunakan tangannya yang cokelat kehitaman.
Sempat terlintas di benakku, apakah warna pekat
dalam gentong tua itu yang telah menyuramkan kehidupan ibumu, atau justru
kelahiranmu yang telah melurup cahaya dalam kehidupannya?
Kata ibumu, kau lahir pada Ahad legi surup hari,
ketika beras di dapur tinggal sekenyang burung, dan ayahmu sedang melaut
meninggalkan dompet kosong. Ibumu melahirkan dalam kesendirian menjelang gelap
malam, di usia kandungan belum genap sembilan bulan. Pertolongan pertama diberikan
seorang ibu tetangga terdekat yang mendengar jerit tangis pertamamu, yang tak
lain adalah ibuku.
Air susu ibumu yang hanya setetes-duatetes
kekuning-kuningan membuatmu menangis lapar siang dan malam. Daun katuk, daun
pepaya, tidak banyak membantu kesuburan air susunya. Akhirnya, hasil ayahmu
melaut semakin tak mencukupi kebutuhan karena harus membeli susu formula.
Apalagi, dengan mengasuhmu yang rewel, ibumu tak lagi bisa membatik untuk
membantu bergeraknya roda ekonomi keluarga.
Utang terus bertambah demi memenuhi kebutuhan
sehari-hari, membuat ibumu tak berani mencegah saat ayahmu meminta izin membuka
usaha warung makan di Pasar Blega, mengikuti jejak sepupunya yang sukses
membuka usaha di sana.
Dengan menggadaikan sepetak tanah untuk modal dan
uang sewa lokasi, ayahmu berangkat setelah menggelar acara timangan di usiamu
yang menginjak 40 hari, dan telah menambah tumpukan hutang demi acara itu.
Enam bulan ayahmu bolak-balik Blega-Tanjungbumi,
pulang setiap Kamis sore, kembali ke Blega pada jumat pagi. Menginjak bulan ke
tujuh, ayahmu mengajak ibumu membantu usahanya yang mulai ramai pelanggan. Kau
disuruh titipkan pada bibi, adik kandung ayahmu yang belum dikaruniai keturunan
meskipun sudah empat tahun menikah. Apalagi kau memang tidak menyusu. Akan tetapi,
ibumu menolak ikut dan meminta cari orang lain untuk membantu pekerjaan ayahmu.
”Dia masih terlalu kecil untuk dititipkan.” Jelas
ibumu saat bercerita pagi itu, ketika kau memintaku menemuinya setelah
kaukirimkan sejumlah uang untuk merenovasi rumah.
”Kenapa tidak membawanya ikut serta?” tatapku.
”Masalahnya, kalau semua pergi, rumah ini jadi
kosong, tidak ada yang menempati dan merawatnya.”
Alasan ibumu, seraya memberi noktah pada hamparan
kain mori dengan canting yang baru dicelupkan pada lelehan lilin. Aroma lilin
yang didih dalam wajan lebih kukenali sebagai aroma perempuan di kampung ini.
Sekarang, baru aku mulai mengerti bahwa alasan
ibumu tidak sesederhana itu.
Apakah kau masih ingat? Menginjak usia delapan
belas tahun, ketika kau meminta izin melanjutkan pendidikan ke luar Madura,
wajah ibumu berubah sendu seperti langit tersaput awan kelabu.
”Tidak usah jauh-jauh!”
”Masih di seputar Jawa.”
Sudah biasa kulihat kau merajuk setengah memaksa.
”Keluar dari kampung sendiri namanya tetap jauh.
Tidak baik bagi anak perempuan!”
”Memangnya kenapa kalau anak perempuan?”
Bukan hanya sekali kudengar pertanyaan bernada
protes kau ajukan untuk hal-hal lain, ketika terbentur aturan sebagai anak
perempuan. Bahkan sewaktu kecil, ketika ibumu melarang memanjat pohon jambu
biji, kau pun menunjukkan protes yang sama. Padahal waktu itu aku yakin, kau
bisa memanjat lebih lihai dan lebih tinggi mengalahkanku. Akibatnya, kau hanya
bisa menengadah di bawah seraya mengemis lemparan dariku yang nangkring
kegirangan di dahan sambil mengunyah jambu biji yang sudah matang. Kau semakin
merengut kesal karena tidak segera kulempari buah jambunya, justru kulit
sepahan yang sengaja kusemburkan ke bawah sambil tertawa mengejek. Penuh
kemenangan.
Aku yakin hatimu merutuk geram karena terlahir
sebagai anak perempuan yang terlalu banyak dikenai aturan!
”Kau bisa melanjutkan sekolah di sini.” Jawab
ibumu, setelah diam sesaat.
”Sukdi melanjutkan ke Jogja! Masa aku di Madura
terus?” sungutmu.
Untuk kesekian kali aku tersenyum menang.
”Dia laki-laki!”
Weeek!
Kujulurkan lidah, mengejekmu seperti biasa.
”Apa bedanya laki-laki dan perempuan? Nilaiku
lebih tinggi dari nilainya!” kejarmu tak terima.
Ibumu tidak menyahut.
Kemampuanku memang selalu di bawahmu dalam hal
apa pun, termasuk nilai mata pelajaran. Hari libur, waktu yang biasa kau
habiskan dengan mengulang pelajaran untuk menghadapi ujian malah kupergunakan
untuk membantu ibu menguliti pohon jati dan mengkudu. Kadang aku juga membantu
ibumu. Aku beruntung saja karena terlahir sebagai laki-laki yang selalu
dianggap lebih istimewa dari anak perempuan.
Saat itu kau tetap berkeras hati mendapatkan
kesempatan yang sama sepertiku. Jelas tidak mau sekadar menengadah sebagaimana
yang pernah kaulakukan di bawah pohon jambu.
Biaya pendidikan kau peroleh dari pemberian
ayahmu yang disimpan oleh ibumu. Sejak mendengar ayahmu menikahi perempuan yang
telah membantu usaha warung makannya dan hanya sesekali pulang untuk
menyerahkan uang, ibumu tidak pernah menggunakan uang itu, kecuali untuk
kebutuhanmu jika ia sudah merasa tidak mampu.
Keteguhan hasratmu membuat ibumu kembali terjebak
dalam kepentingan dan kebutuhan di luar keinginan dirinya. Ia terpaksa
melepasmu pergi dengan hati terkunci, hingga kita tidak bisa membaca apa yang
tersimpan di bilik dadanya.
Setelah kuliah kau selesaikan dengan prestasi
gemilang, dengan mudah kau memeroleh pekerjaan mapan bergaji besar di tanah
rantau, hasrat dan dendammu pun menjulang. Hendak kau buktikan pada kampung
halaman bahwa perempuan juga mampu mendulang kesuksesan.
Hal yang sama terulang. Ketika ibumu usai
bercerita tentang masa lalu pagi itu, lalu kusampaikan pesanmu, bahwa rumah
yang selama ini ditinggali hendak kaurobohkan, diganti dengan rumah yang baru
tanpa ingin melibatkan sang ayah, sekali lagi ia memilih mengalah memeram
desah.
Kau lupa satu hal, bahwa ibumu semakin tersuruk
dalam lorong panjang yang kian suram. Tidak ada lagi rumah penyepuh kenangan,
dan kau seolah lupa jalan pulang. Bahkan, setelah ibumu tiada pun kau tak
sempat mengantarnya ke pekuburan, seolah kabar duka yang kukirim tak pernah
sampai.
Ketahuilah! Setelah orangtua tiada, hilang rumah
bagi anak perantau untuk pulang. Aku telah merasai itu. Setelah ibuku pergi,
rumah yang tertinggal bagai tempat asing dalam persinggahan. Tidak punya
tetangga. Tidak punya kerabat. Tidak punya teman dekat. Hidupku terasing di
kampung sendiri.
Sejak itu aku mulai mengerti. Rumah, yang pernah
dipertahankan ibumu, tak lain adalah lingkungan tempat menjalin ikatan, tempat
berbagi kasih-sayang, membangun rasa kepedulian, melestarikan jejak warisan,
yang seharusnya dirawat oleh sentuhan tangan perempuan.
Akan tetapi, barangkali kesempatan masih bisa kau
gapai. Bukankah bagi perempuan Tanjungbumi, selain lingkungan ia masih memiliki
gentong tua sebagai rumah pengabdian? Sejauh-jauh melambungkan angan di tanah
rantau, pada warisan nenek moyang ia akan menemukan tempat untuk pulang,
kecuali selamanya ingin jadi pengembara dan melupakan tanah kelahiran.
Apakah kau masih akan menyesal terlahir sebagai
anak perempuan, Sum?(*)
---
Muna Masyari, lahir 26 Desember
1985, tinggal di Pamekasan, Madura. Peraih Cerpen Terbaik Pilihan Kompas 2017.
Muna sehari-hari bekerja sebagai penjahit pakaian untuk orang-orang sekitar
desanya. Tahun 2010 sudah mengirim cerpen ke Kompas, tetapi baru
tahun 2016 cerpennya ”Celurit Warisan” dimuat. Cerpen ini pun kemudian lolos
seleksi untuk buku Cerpen Pilihan Kompas 2016.
Made Arya Dwita Dedok, lahir 10
Juni 1971 di Denpasar. Kini menetap di Magelang, Jawa Tengah. Menempuh
pendidikan di SMSR Denpasar dan kemudian Institut Seni Indonesia Yogyakarta.
Pernah mengikuti residensi seniman di Vermont Studio Center, Johnson, Vermont,
Amerika Serikat. Finalis kompetisi seni rupa UOB Bank Jakarta 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar